A. Partisipasi Guru
Partisipasi adalah usaha
pengambilan bagian atau
pengikutsertaan seseorang dalam suatu kegiatan. Partisipasi juga dapat
diartikan suatu keterlibatan mental dan emosi seseorang kepada pencapaian
tujuan dan ikut bertanggung jawab di dalamnya.
Menurut
Soeganda Poerbakawadja mengemukakan bahwa:
partisipasi adalah suatu
gejala demokratis, dimana orang diikutsertakan di dalam perencanaan, serta
pelaksanaan dari segala sesuatu yang berpusat kepada kepentingan dan juga ikut
memikul tanggungjawab sesuai dengan tingkat kematangan atau tingkat kewajibannya.
Partisipasi itu terjadi baik dalam bidang-bidang fisik maupun dalam bidang
mental serta dalam bidang penentuan kebijaksannaan[1].
“Partisipasi
adalah suatu tim yang menunjuk kepada adanya keikutsertaan secara nyata dalam
suatu kegiatan”[2].
Seseorang berpartisipasi didorong oleh tanggungjawab, rasa menumbuhkan serta
merasakan hasil partisipasinya bermanfaat bagi dirinya maupun bagi orang lain.
Mubyarto
mengatakan “partisipasi adalah kesadaran untuk membantu keberhasilannya setiap
program dengan kemampuan setiap orang tanpa berarti mengorbankan kepentingan
diri-sendiri”[3].
Dari uraian
di atas dapat disimpulkan bahwa partisipasi adalah suatu keterlibatan mental dan emosi serta
fisik seseorang dalam memberikan respon terhadap
kegiatan yang dilaksanakan serta mendukung pencapaian tujuan dan bertanggung jawab atas
keterlibatannya.
Guru adalah salah satu
komponen manusiawi dalam proses belajar-mengajar, yang ikut berperan dalam
usaha pembentukan sumber daya manusia yang potensial di bidang pembangunan.
Oleh karena itu, guru yang merupakan salah satu unsur di bidang kependidikan harus
berperan serta secara aktif dan menempatkan kedudukannya sebagai tenaga
professional, sesuai dengan tuntutan masyarakat yang sedang berkembang[4].
Menurut
Prof. Dr. Soedarman Danim dan Dr. H. Khairil, “Secara definitive, kata guru
bermakna sebagai pendidik professional dengan tugas utama mendidik, mengajar,
membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada
jalur pendidikan formal”[5].
Kemudian,
guru merupakan salah satu komponen dalam sistem pendidikan dan memiliki peran yang
sangat besar dalam pencapaian tujuan pendidikan. Sehingga dapat dikatakan agar
tugas utama tersebut dapat terselenggara dengan baik, maka guru harus ikut
berpartisipasi dalam sistem pendidikan agar tujuan pendidikan yang telah
ditetapkan dapat dicapai.
Jadi, yang
dimaksud dengan partisipasi guru pada prinsipnya adalah keikutsertaan guru dalam
merencanakan dan melaksanakan suatu kegiatan kependidikan yang berpusat pada
suatu kepentingan atau tujuan sesuai dengan tanggungjawab yang dipikulnya.
B. Pengertian Administrasi Pendidikan
Administrasi
pendidikan merupakan proses keseluruhan dan kegiatan-kegiatan bersama yang
harus dilakukan oleh semua pihak yang ada sangkut-pautnya dengan tugas-tugas
pendidikan. Administrasi pendidikan mencakup kegiatan-kegiatan yang luas
seperti kegiatan perencananan, pengorganisasian, pengarahan, dan pengawasan
khususnya dalam bidang pendidikan yang diselenggarakan di sekolah-sekolah.
Pada
dasarnya administrasi pendidikan bukan hanya sekedar kegiatan tata usaha
seperti yang dilakukan di kantor-kantor tata usaha yang terdapat di
sekolah-sekolah maupun kantor invasi pendidikan yang lainnya. Namun, pada
hakikatnya administrasi pendidikan adalah suatu ilmu tentang penyelenggaraan
pendidikan di sekolah atau tempat pendidikan yang lain dengan harapan
tercapainya tujuan pendidikan yang telah ditetapkan.
Djam’an Satori
mendefinisikan administrasi pendidikan sebagai keseluruhan proses kerjasama
dengan memanfaatkan semua sumber personil dan materil yang tersedia dan sesuai
untuk mencapai tujuan pendidikan yang telah ditetapkan secara efektif dan
efisien. Dengan rumusan yang sedikit berbeda, Djam’an Satori mengemukakan bahwa
administrasi pendidikan dapat diartikan sebagai keseluruhan proses kerjasama
yang memanfaatkan semua sumber personalia dan material yang tersedia dan sesuai
untuk mencapai tujuan pendidikan yang telah ditetapkan secara efektif dan
efisien[6].
Menurut
Drs. M. Ngalim Purwanto dalam bukunya yang berjudul Administrasi dan Supervisi Pendidikan bahwa “administrasi
pendidikan adalah suatu kegiatan atau usaha untuk membantu, melayani,
mengarahkan, atau mengatur semua kegiatan di dalam mencapai suatu pendidikan”[7].
Adapun
menurut Abin Syamsudin dan Nandang Budiman bahwa “administrasi pendidikan
adalah segenap teknik dan prosedur yang dipergunakan dalam penyelenggaraan
lembaga pendidikan sesuai dengan kebijaksanaan yang telah ditentukan”[8].
Jadi,
administrasi pendidikan dapat disimpulkan sebagai segenap proses pengerahan dan
pengintegrasian segala sesuatu baik personel, spiritual, maupun material yang
bersangkut-paut dengan pencapaian tujuan pendidikan yang dilakukan secara
bersama oleh semua pihak yang terlibat di dalam tugas-tugas kependidikan.
C. Essensi Administrasi dalam Pendidikan
Administrasi
dapat diartikan sebagai suatu kegiatan atau usaha untuk membantu, melayani,
mengarahkan atau mengatur semua kegiatan di dalam mencapai suatu tujuan.
Secara etimologi, kata
administrasi berasal dari bahasa latin yaitu ad yang berarti kepada, dan
ministro yang berarti melayani. Secara garis besar dan bebas kata administrasi
dapat diartikan sebagai pengabdian atau pelayanan terhadap suatu objek tertentu[9].
Secara
khusus, kehadiran administrasi dalam pendidikan atau sekolah adalah untuk
mempersiapkan situasi di sekolah agar pendidikan dan pengajaran di dalamnya
berlangsung dengan baik.
Dalam
sebuah lembaga pendidikan atau sekolah, administrasi pendidikan merupakan
subsistem dalam sistem pendidikan sekolah. Essensi administrasi dalam
pendidikan adalah berusaha untuk menunjang tercapainya tujuan pendidikan
sekolah tersebut.
administrasi pendidikan berfungsi sebagai alat bagi lembaga
pendidikan. Ini berarti bahwa administrasi pendidikan tidak memberikan
sumbangan langsung terhadap pencapaian tujuan-tujuan pendidikan. Administrasi
pendidikan hanya melaksanakan segala upaya yang mungkin agar proses
belajar-mengajar dapat berlangsung dengan lancar, efisien dan efektif.
Jika administrasi
pendidikan dikatakan hanya sebagai alat untuk mencapai tujuan pendidikan, dapat
kita bayangkan lembaga sekolah yang tidak menjalankan fungsi administrasi
pendidikan tersebut tidak akan bisa mencapai tujuan pendidikan seperti yang
diharapkan dan sekolahpun tidak akan berkembang dan maju dan mutu lulusan dari
lembaga pendidikan tersebut juga kurang berkualitas.
Sebagaimana yang pernah dikutip oleh Prof. Dr. Sudarwan
Danim dan Dr. H. Khairil dalam buku mereka yang berjudul profesi kependidikan bahwa “Albert Lepawsky, guru besar administrasi pada Universitas Chicago pernah
menulis bahwa di dunia ini tidak ada yang lebih penting daripada administrasi
atau there is no the most important in
the world than administration”[10].
Pernyataan ini mencerminkan kuatnya tuntutan akan system
administrasi yang dikelola secara professional oleh orang-orang yang
professional pula. Tidak ada institusi atau pranata apapun dan dimanapun akan
mampu tampil prima, kecuali memiliki sistem administrasi yang baik.
Sekolah, institusi pendidikan, atau yayasan kependidikan akan menjadi kacau bahkan bisa lumpuh ketika sistem
administrasinya kacau atau dikelola secara tidak professional.
D. Urgensi
Partisipasi Guru dalam Administrasi Pendidikan
Tugas utama guru yaitu mengelola proses belajar-mengajar
dalam suatu lingkungan tertentu, yaitu sekolah. Sebagaimana yang termaktub
dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen bahwa “guru
adalah pendidik professional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing,
mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan
anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan
menengah[11]”.
Sekolah merupakan
subsistem pendidikan nasional, dan disamping sekolah, sistem pendidikan
nasional itu juga mempunyai komponen-komponen lainnya dan guru harus memahami
apa yang terjadi di lingkungan kerjanya.
Di sekolah guru berada dalam kegiatan administrasi sekolah, sekolah melaksanakan kegiatannya untuk menghasilkan lulusan yang
jumlah serta mutunya telah ditetapkan. Dalam lingkup administrasi sekolah itu
peranan guru amat penting. Dalam menetapkan kebijaksanaan dan melaksanakan
proses perencanaan, pengorganisasian, pengarahan, pengkoordinasian, pembiayaan,
dan penilaian kegiatan kurikulum, kesiswaan, sarana dan prasarana, personalia
sekolah, keuangan dan hubungan sekolah adalah pekerjaan yang sifatnya
kolaboratif. Artinya, pekerjaan tersebut didasarkan atas kerjasama dan bukan
bersifat individual. Oleh sebab itu, semua personel sekolah termasuk guru harus
ikut terlibat.
Hal tersebut setara dengan yang disampaikan oleh Sadirman A.M dalam buku beliau
yang berjudul Interaksi dan Motivasi
Belajar Mengajar bahwa :
guru di
sekolah disamping berperan sebagai pengajar, pendidik, dan pembimbing, juga
berperan sebagai administrator. Dengan demikian, guru harus mengenal dan
menyelenggarakan administrasi sekolah. Hal ini sebagai upaya pemuasan layanan
terhadap para siswa[12].
“Mujtahid mengemukakan
peran guru dalam administrasi pendidikan/sekolah, termasuk madrasah
dideskripsikan sebagai berikut[13]:
1. Guru
sebagai perancang
Untuk tugas-tugas administrative tertentu, guru
dapat memerankan diri sebagai administrator. Ketika menjadi seorang
“administrator”, tugas guru ialah merencanakan, mengorganisasikan,
menggerakkan, mengawasi, dan mengevaluasi program kegiatan dalam jangka pendek,
menengah, atau jangka panjang yang menjadi prioritas tujuan sekolah.
2. Guru sebagai penggerak
Guru juga dikatakan sebagai penggerak, yaitu
mobilisator yang mendorong dan menggerakkan sistem organisasi sekolah. Untuk
melaksanakan fungsi-fungsi tersebut, seorang guru harus memiliki kemampuan
intelektual dan kepribadian yang kuat. Kemampuan intelektual misalnya mempunyai
jiwa visioner, creator, peneliti, jiwa rasional, dan jiwa untuk maju.
3. Guru sebagai evaluator
Guru menjalankan fungsi sebagai evaluator, yaitu
melakukan evaluasi/penilaian terhadap aktivitas yang telah dikerjakan dalam
sistem sekolah. Peran ini penting, karena guru sebagai pelaku utama dalam
menentukan pilihan. Pilihan serta kebijakan yang relevan demi kebaikan sistem
yan ada di sekolah, baik menyangkut kurikulum, pengajaran, sarana-prasarana,
regulasi, sasaran dan tujuan, hingga masukan dari masyakat luas.
4. Guru sebagai motivator
Dalam proses pembelajaran, motivasi merupakan
penentu keberhasilan. Seorang guru seyogyanya memerankan diri sebagai motivator
murid-muridnya, teman sejawatnya, serta lingkungannya[14].
Dari uraian
di atas, dapat disimpulkan bahwa fungsi seorang guru tidak hanya sebagai
pendidik dan pengajar, tetapi juga sebagai administrator pada bidang pendidikan
dan pengajaran. Guru merupakan salah satu pelaku dalam administrasi pendidikan.
Pemahamannya tentang apa yang terjadi di sekolah akan banyak membantu mereka
memperlancar tugasnya sebagai pengelola langsung proses belajar-mengajar.
Hal tersebut lebih nampak
lagi dalam pendidikan yang dikembangkan secara desentralisasi sejalan dengan
kebijakan otonomi daerah, karena disini guru diberi kebebasan untuk memilih dan
mengembangkan materi standar dan kompetensi dasar sesuai dengan kondisi serta
kebutuhan daerah dan sekolah[15].
[1]Prof.Dr. Soegarda Poerbakawatja. H.A.H.
Harahap. Ensiklopedi Pendidikan.
Jakarta: PT. Gunung Agung. 1981. hal. 251.
[2]Ali Imran. Kebijakan Pendidikan di Indonesia. Jakarta: Bumi Aksara. 1993. hal.
80.
[3]Mubyarto. Strategi
Pembangunan Masyarakat Pedesaan. Yogyakarta: UGM. 1984. hal. 35.
[4]Sadirman A.M. Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar. Jakarta: PT RajaGrafindo
Persada. 2004. hal. 125.
[5]Prof.Dr. Sudarwan Danim dan Dr.H. Khairil. Profesi Kependidikan. Bandung: Alfabeta, cv. 2010. hal. 5
[6]Ibid, hal. 55-56.
[7]Drs.M.Ngalim Purwanto, MP. Administrasi
dan Supervisi Pendidikan. Bandung: PT.Remaja Rosdakarya. 2008. hal. 3.
[8]Abin Syamsudin dan Nandang Budiman. Profesi Keguruan. Jakarta: Universitas
Terbuka. 2005. hal. 2-5.
[9]Drs. H. M. Daryanto. Administrasi
Pendidikan. Jakarta: Rineka Cipta. 2008. hal. 1.
[10]Prof.Dr. Sudarwan Danim dan Dr.H. Khairil. Profesi Kependidikan. Bandung: Alfabeta, cv. 2010. hal. 5
[11]Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2005 tentang
guru dan dosen
[12]Sadirman A.M. Interaksi
dan Motivasi Belajar Mengajar. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada. 2004. hal.
177.
[13]Prof.Dr. Sudarwan Danim dan Dr.H. Khairil. Profesi Kependidikan. Bandung: Alfabeta,
cv. 2010. hal. 44.
[15]Dr. E. Mulyasa, M.Pd. Menjadi Guru Profesional. Bandung:
PT Remaja Rosdakarya. 2008. hal. 13.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar